Jumat, 22 Juni 2012

Tugas Hukum Pidana
Muhammad Bagus Prasetya
NPM : 3115

Contoh kasus dari Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana?.


Contoh kasus dari Pasal 44 KUHP.

Si “A” adalah seorang laki-laki dewasa sejak kecil “A” mengalami gangguan mental/kejiwaan (Autis/hyperaktif), pada suatu hari ketika sedang berjalan di sebuah gang “A” melihat sebuah Radio di depan rumah si “B” karena bentuk dan suara yang dihasilkan radio membuat A tertarik lalu mengambilnya dan langsung membawa radio itu pergi tanpa sepengetahuan si “B”.

Penjelasan : Apa yang dilakukan oleh A adalah perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Karena alasan gangguan mental/kejiwaan A (di dasarkan keterangan ahli), maka A mendapatkan penghapusan pidana, didasarkan pada Pasal 44 KUHP :” barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya ( gebrekkige ontwikkeling ) atau terganggu karena penyakit ( ziekelijke storing ), tidak dipidana “

Dalam memorie van Toelicting yang dimaksud tidak mampu bertanggungjawab (Sudarto,1987:951) adalah, Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan undang – undang. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehinga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menetunkan akibat perbuatannya.

Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang itu berdasar bertumbuhnya atau ada gangguan penyakit pada daya piker seorang pelaku. Istilah tidak dapat dipertanggungjawabkan (niet kan worden toe gerekend) tidak dapat disamakan dengan “tidak ada kesalahan berupa sengaja atau culpa”. Yang dimaksud disini adalah berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebutr dari si pelaku, ia tidak dapat dicela sedemikian rupa sehingga pantaslah ia dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.


Contoh kasus dari Pasal 48 KUHP.

Si C di bawah ancaman D, dengan cara D menodongkan senjata api di kepala C, dipaksa untuk memukul E, hingga E tewas. Penjelasan : Apa yang dilakukan oleh C adalah sebuah tindak pidana, dimana C telah melakukan penganiayaan kepada E hingga tewas,Berdasarkan pasal 351 ayat (3) KUHP. Namun karena adanya upaya paksa yang dilakukan oleh D kepada C maka apa yang dilakukan oleh C termasuk Overmacht, yang diatur dalam Pasal 48 KUHP. Pasal 48 : “tidaklah dihukum seorang yang melakukan perbuatan, yang didorong hal memaksa”. Jadi apabila seseorang melakukan tindak kejahatan dalam keadaan terpaksa, maka dia tidak dihukum. Paksaan ini adakalanya bersifat fisik (vis absoluta) dan ada yang bersifat psikis (Vis Compulsiva). Yang dimaksud dalam pasal 48 KUHP adalah paksaan yang bersifat psikis, bukan fisik.

Si C tidak dikenakan hukuman pidana. Akan tetapi, tidaklah dikatakan bahwa perbuatan tersebut halal, perbuatan itu tetap merupakan perbuatan pidana yang melanggar hukum. Hanya para pelaku dapat dimaafkan (fait d’execuse).


Contoh kasus dari Pasal 49 KUHP

Si F menyerang G dengan menggunakan botol minuman keras untuk memukul G, kemudian G mengambil kursi plastic yang berada di dekatnya, sehingga F kewalahan dengan pukulan si G. G mengambil kursi plastik karena G tidak sempat lari atau dalam keadaan yang sangat terdesak. Dengan alasan membela diri inilah G tidak mendapat hukuman walaupun perlawanan yang G lakuin kepada F, menyebabkan F terluka.

Penjelasan : Pasal 49 ayat 1 : “Tidakalah seorang yang melakukan suatu perbuatan, yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela badan (lijf), kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goed) dari dirinya sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat melanggar hokum (wederrechtlijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikklijk) atau dikhawatirkan akan segera menimpa (onmiddelijk dreigend)”.

Terpaksa dalam melakukan pembelaan ada 3 pengertian :
a. Harus ada serangan atau ancaman serangan.
b. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu dan harus masuk akal.
c. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan.

Adapaun kepentingan-kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan adalah :
a. diri/badan orang.
b. Kehormatan dan kesusilaan.
c. Harta benda orang.


Contoh kasus dari Pasal 50 KUHP.

seorang Polisi pada saat melakukan penyelidikan suatu perkara pidana dan menangkap seorang tersangka, melakukan perampasan hak kemerdekaan seseorang (tersangka) dengan melakukan penahanan, penggeledahan, dan penyitaan bukan termasuk perampasan kemerdekaan yang dimaksud dalam pasal 333 KUHP, yaitu merampas kemerdekaan orang lain.

Penjelasan : Pasal 50 KUHP menentukan : tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan. Dalam contoh kasus diatas seorang anggota Polisi yang diberikan kewenangan oleh undang-undang (melalui Pasal 16 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia) diantaranya melakukan penahanan, pengeledahan, dan penyitaan tidak dimasukkan atau dikategorikan sebagai perampasan kemerdekaan karena apa yang dilakukan oleh anggota Kepolisian tersebut dalam rangka melakukan penyelidikan dan penyidikan telah diatur di dalam Undang-undang.


Contoh kasus dari Pasal 51 KUHP.

Seorang Perwira Polisi dengan Pangkat Komisaris berdasarkan surat perintah penugasan memberikan tugas dan tanggung jawab kepada stafnya yang berpangkat Briptu untuk melakukan upaya paksa berupa penahanan kepada seorang tersangka.

Penjelasan : Tidak dapat dipidana (dalam hal upaya paksanya) seorang anggota Polisi berpangkat Briptu diatas yang menjalankan perintah atasannya dan apabila perintah penangkapan itu tidak memiliki dasar atau alasan yang kuat (tidak sah) anggota berpangkat briptu ini tidak dipidana karena menjalankan perintah atasan yang berwenang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana. MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)) Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya.

Maka jika seorang melakukan perintah yang sah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :
1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.
2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.

 Sumber :
- KUHP, Prof. Moeljanto,S.H.
- Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
- http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2008/05/26/alasan-penghapus-pidana/
- http://saifudiendjsh.blogspot.com/2007/12/hukum-pidana_14.html
- http://kandanghukum.blogspot.com/2011/07/alasan-pembenaran-alasan-pemaaf-dan.html

Fakultas Hukum Uniba @2012